Orang-orang yang mempunyai jiwa wiraswasta, selain mempunyai sikap petualang dan semangat kerja tinggi, juga mempunyai beberpa ketrampilan sebagai pegangan hidup. Arti trampil adalah manusia yang dapat melakukan tindakan, aktifitas atau pekerjaan dengan cekatan, gesit, lincah dan mampu menemukan teknik bertindak dengan sistematis. Orang yang trampil adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan dalam segala bidang sehingga dapat memperoleh hasil ide, gagasan, cipta dan karya yang dapat dinikmatinya sendiri dapat mengembang ke orang lain.
Untuk mengantarkan menjadi orang yang trampil haruslah ditempuh lewat proses pendidikan dan latihan. Anak sekolah, terutama lulusan SLTA dan sarjana dari Perguruan Tinggi, agar mempunyai ketrampilan hidup, hendaknya dididik dan dilatih dalam wadah pemdidikan kewiraswastaan yang langsung dapat diterapkan dalam dunia usaha. Pendidikan wiraswasta yang selama ini diajarkan kepada siswa atau mahasiswa hanya sekedar teori yang cenderung verbalisme.
Sekarang, lepas dari itu semua, jika kita ingin sukses dalam kehidupan yang terlampau ketat persaingannya ini, maka dengan mengucap bismillah, mulailah berpikir kreatif untuk menapak masa depan dengan semangat dan etos kerja dengan landasan filsafat hidup, bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib kita, jika kita tidak berusaha untuk merubahnya sendiri. Bekal apa yang kita siapkan, untuk merubah nasib tersebut? Tentu saja dengan bekal hidup pemberian Tuhan yang berbentuk fisik sehat dan akal sehat. Inilah bekal hidup yang kita gunakan untuk melangkah ke depan. Dan sikap berani mengambil resiko apa yang terjadi.
Kita yang mempunyai tubuh sehat dan normal, serta pikiran yang normal untuk diarahkan pada suatu bentuk ketrampilan apa saja, tentulah akan membuahkan kekaryaan. Penguasaan ketrampilan hanya ada pada orang yang fisiknya sehat dan pikirannya normal. Selagi kita normal baik secara fisik dan psikhis, maka haruslah menguasai satu atau lebih ketrampilan, misalnya dalam bidang pertukangan, ukir kayu, sablon, dekorasi, lukisan, kaligrafi, menjahit, membatik, dan lain sebagainya. Sederet bidang ktrampilan lewat tangan yang digerakkan oleh pikiran ini, jika sudah dianggap mempunyai nilai jual, maka berarti ketrampilan ini sudah dapat digunakan untuk modal dalam kehidupan . Pemenuhan kebutuhan akan teratasi dari ketrampilan yang kita miliki, asal kita mau melakukan, tanpa dihantui rasa malu, takut, cemas dalam mempraktekkan ketrampilan tersebut.
Akan berpeluang sukses lebih besar, jika kita mempunyai ketrampilan berpikir. Berimajinasi dan berkreatifitas mencari ide-ide baru dalam dunia usaha dan pekerjaan. Trampil mencetuskan ide-ide kreatif dalam dunia usaha, memang sangat dibutuhkan nyali yang tinggi dan beban psikologis cukup berat. Kunci yang harus dipegang dalam kreatifitas ini, adalah keberanian, sekali lagi keberanian untuk memulai suatu pekerjaan yang belum sama sekali dilakukan, dalam hal ini unsur spekulasi sangat tinggi. Yang pasti setiap orang, jika mempunyai keberanian untuk melangkah, akan ditemukan jalan yang cukup longgar, manakala kita tetap waspada dan terus berpikir akan keberhasilannya.
Lingkaran Setan Harus Dipotong
Siswa SLTA kelas tiga atau sekarang disebut kelas duabelas (seperti Anda-pembaca) di pedesaan, jika ditanya oleh guru, ”Siapa yang berminat melanjutkan ke perguruan tinggi?” Hampir semuanya mengangkat tangan, dengan menjawab ”berminat”. Jumlah yang berminat hampir 90% lebih. Tetapi kalau ditanya, ”Setelah tamat nanti, Anda kuliah atau tidak?”. Jawaban yang paling banyak adalah dengan kata ”tidak”. Pertanyaan berikutnya, ”Mengapa tidak kuliah?” Jawaban yang paling umum terucap adalah ”tidak ada biaya.” Dan seterusnya pertanyaan dikejar, berakhir dengan jawaban ”kami dari anak orang miskin, Pak!”.
Secara kodrati, lulusan SLTA rata-rata berkeinginan untuk kuliah di Perguruan Tinggi, baik yang pandai, sedang dan bodoh. Dan juga, minat dan keinginan berlaku sama antara anak orang kaya dengan anak orang miskin. Ini menandakan, bahwa kebutuhan untuk sekolah lebih tinggi bagi anak-anak masa usia sekolah adalah sangat besar. Hanya persoalannya, faktor yang paling banyak dijumpai adalah ketidakmampuan untuk membayar biaya pendidikan. Hal semacam ini, jelas bahwa mereka yang terlahir dari keluarga miskin, tidak pernah akan memperoleh pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Sementara perguruan tinggi hanya diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari keluarga yang ekonominya sedang dan atas (orang-orang kaya).
Ini kenyataan hidup yang sangat pahit dirasakan oleh orang-orang miskin. Awas, dan ingat! Anda jangan protes dan menyalahkan Tuhan. Karena Tuhan sudah memberi petunjuk dan jalan, ”gunakan akal cerdas dan ketrampilanmu, jika ingin sukses hidup kaya,”
Lepas dari rasa kecewa atau tidak, adanya diskriminasi kehidupan yang tergambar di atas, yang kaya dapat sekolah, yang miskin terpinggirkan. Ya, ini memang diskriminasi kehidupan, ini namanya hukum sebab akibat (causalitas). Dinasti dari keluarga kaya akan melahirkan keturunan pandai, pandai berakibat maju (peradaban tinggi), maju berakibat kaya karena mempunyai peluang, yang kaya akan pandai demikian putarannya. Sementara pada sisi lain, dari dinasti keluarga miskin akan berputar seperti lingkaran setan, kemiskinan melahirkan kebodohan (tidak bisa sekolah), kebodohan berakibat terbelakang karena tersingkirkan , terbelakang berakibat miskin, miskin berakibat bodoh lagi karena tidak sekolah dan begitu putaran hidup seterusnya.
Lingkaran setan bagi orang miskin tersebut harus dipotong talinya, sehingga tidak terkait terus secara berurutan yang berputar terus tanpa ujung. Lantas yang memotong siapa? Ya, yang dapat memotong tali kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan ini satu-satunya adalah kita yang miskin ini. Kita (yang miskin) sendiri, dengan cara membangun pilar kekuatan dan keberanian melangkah sekalipun dengan beban berat. Jiwa wiraswasta dikobarkan dalam diri kita. Karena bergantung pada pemerintah dan orang-orang kaya, rasanya kondisi seperti ini kemungkinannya sangat kecil.
Di awali, minat atau keinginan untuk sekolah di perguruan tinggi harus terus dipegang dan dikobarkan. Jangan dilepaskan, terus dikobarkan semangat memperoleh pendidikan tinggi. Sekalipun belum ada biaya. Minat sekolah yang tinggi tersebut harus ada, dan dibarengi dengan semangat berpikir dan pencarian ide untuk bekerja. Dua aspek yang terpisah ini, dipaksakan untuk selalu beriringan. Mulailah dengan rumusan prinsip hidup yang pasti, ”SAYA HARUS BEKERJA UNTUK SEKOLAH, dan atau SAYA HARUS KULIAH SAMBIL BEKERJA”
Rumusan prinsip hidup di atas, akan terwujud jika disiapkan sejak awal dengan perbekalan ketrampilan, membangun karsa (kemauan) kuat, dan image untuk merubah kehidupannya di atas kakinya sendiri, tanpa mengucap ”orang tua saya miskin”. Sekali lagi jangan menyalahkan orang tua Anda, apalagi sampai menyalahkan Tuhan. Syukurilah bahwa Anda dihidupkan oleh Allah perantara orang tua Anda, dengan kesempurnaan. Konsep berpikir atau falsafat hidup, bahwa kita ini adalah orang-orang yang pandai bersyukur. Ingat, masih banyak segi kehidupan yang dapat kita bangun dan kita tangani untuk kepentingan masa depan yang cerah untuk diri kita sendiri, jika ada KEMAUAN
Untuk mengantarkan menjadi orang yang trampil haruslah ditempuh lewat proses pendidikan dan latihan. Anak sekolah, terutama lulusan SLTA dan sarjana dari Perguruan Tinggi, agar mempunyai ketrampilan hidup, hendaknya dididik dan dilatih dalam wadah pemdidikan kewiraswastaan yang langsung dapat diterapkan dalam dunia usaha. Pendidikan wiraswasta yang selama ini diajarkan kepada siswa atau mahasiswa hanya sekedar teori yang cenderung verbalisme.
Sekarang, lepas dari itu semua, jika kita ingin sukses dalam kehidupan yang terlampau ketat persaingannya ini, maka dengan mengucap bismillah, mulailah berpikir kreatif untuk menapak masa depan dengan semangat dan etos kerja dengan landasan filsafat hidup, bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib kita, jika kita tidak berusaha untuk merubahnya sendiri. Bekal apa yang kita siapkan, untuk merubah nasib tersebut? Tentu saja dengan bekal hidup pemberian Tuhan yang berbentuk fisik sehat dan akal sehat. Inilah bekal hidup yang kita gunakan untuk melangkah ke depan. Dan sikap berani mengambil resiko apa yang terjadi.
Kita yang mempunyai tubuh sehat dan normal, serta pikiran yang normal untuk diarahkan pada suatu bentuk ketrampilan apa saja, tentulah akan membuahkan kekaryaan. Penguasaan ketrampilan hanya ada pada orang yang fisiknya sehat dan pikirannya normal. Selagi kita normal baik secara fisik dan psikhis, maka haruslah menguasai satu atau lebih ketrampilan, misalnya dalam bidang pertukangan, ukir kayu, sablon, dekorasi, lukisan, kaligrafi, menjahit, membatik, dan lain sebagainya. Sederet bidang ktrampilan lewat tangan yang digerakkan oleh pikiran ini, jika sudah dianggap mempunyai nilai jual, maka berarti ketrampilan ini sudah dapat digunakan untuk modal dalam kehidupan . Pemenuhan kebutuhan akan teratasi dari ketrampilan yang kita miliki, asal kita mau melakukan, tanpa dihantui rasa malu, takut, cemas dalam mempraktekkan ketrampilan tersebut.
Akan berpeluang sukses lebih besar, jika kita mempunyai ketrampilan berpikir. Berimajinasi dan berkreatifitas mencari ide-ide baru dalam dunia usaha dan pekerjaan. Trampil mencetuskan ide-ide kreatif dalam dunia usaha, memang sangat dibutuhkan nyali yang tinggi dan beban psikologis cukup berat. Kunci yang harus dipegang dalam kreatifitas ini, adalah keberanian, sekali lagi keberanian untuk memulai suatu pekerjaan yang belum sama sekali dilakukan, dalam hal ini unsur spekulasi sangat tinggi. Yang pasti setiap orang, jika mempunyai keberanian untuk melangkah, akan ditemukan jalan yang cukup longgar, manakala kita tetap waspada dan terus berpikir akan keberhasilannya.
Lingkaran Setan Harus Dipotong
Siswa SLTA kelas tiga atau sekarang disebut kelas duabelas (seperti Anda-pembaca) di pedesaan, jika ditanya oleh guru, ”Siapa yang berminat melanjutkan ke perguruan tinggi?” Hampir semuanya mengangkat tangan, dengan menjawab ”berminat”. Jumlah yang berminat hampir 90% lebih. Tetapi kalau ditanya, ”Setelah tamat nanti, Anda kuliah atau tidak?”. Jawaban yang paling banyak adalah dengan kata ”tidak”. Pertanyaan berikutnya, ”Mengapa tidak kuliah?” Jawaban yang paling umum terucap adalah ”tidak ada biaya.” Dan seterusnya pertanyaan dikejar, berakhir dengan jawaban ”kami dari anak orang miskin, Pak!”.
Secara kodrati, lulusan SLTA rata-rata berkeinginan untuk kuliah di Perguruan Tinggi, baik yang pandai, sedang dan bodoh. Dan juga, minat dan keinginan berlaku sama antara anak orang kaya dengan anak orang miskin. Ini menandakan, bahwa kebutuhan untuk sekolah lebih tinggi bagi anak-anak masa usia sekolah adalah sangat besar. Hanya persoalannya, faktor yang paling banyak dijumpai adalah ketidakmampuan untuk membayar biaya pendidikan. Hal semacam ini, jelas bahwa mereka yang terlahir dari keluarga miskin, tidak pernah akan memperoleh pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Sementara perguruan tinggi hanya diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari keluarga yang ekonominya sedang dan atas (orang-orang kaya).
Ini kenyataan hidup yang sangat pahit dirasakan oleh orang-orang miskin. Awas, dan ingat! Anda jangan protes dan menyalahkan Tuhan. Karena Tuhan sudah memberi petunjuk dan jalan, ”gunakan akal cerdas dan ketrampilanmu, jika ingin sukses hidup kaya,”
Lepas dari rasa kecewa atau tidak, adanya diskriminasi kehidupan yang tergambar di atas, yang kaya dapat sekolah, yang miskin terpinggirkan. Ya, ini memang diskriminasi kehidupan, ini namanya hukum sebab akibat (causalitas). Dinasti dari keluarga kaya akan melahirkan keturunan pandai, pandai berakibat maju (peradaban tinggi), maju berakibat kaya karena mempunyai peluang, yang kaya akan pandai demikian putarannya. Sementara pada sisi lain, dari dinasti keluarga miskin akan berputar seperti lingkaran setan, kemiskinan melahirkan kebodohan (tidak bisa sekolah), kebodohan berakibat terbelakang karena tersingkirkan , terbelakang berakibat miskin, miskin berakibat bodoh lagi karena tidak sekolah dan begitu putaran hidup seterusnya.
Lingkaran setan bagi orang miskin tersebut harus dipotong talinya, sehingga tidak terkait terus secara berurutan yang berputar terus tanpa ujung. Lantas yang memotong siapa? Ya, yang dapat memotong tali kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan ini satu-satunya adalah kita yang miskin ini. Kita (yang miskin) sendiri, dengan cara membangun pilar kekuatan dan keberanian melangkah sekalipun dengan beban berat. Jiwa wiraswasta dikobarkan dalam diri kita. Karena bergantung pada pemerintah dan orang-orang kaya, rasanya kondisi seperti ini kemungkinannya sangat kecil.
Di awali, minat atau keinginan untuk sekolah di perguruan tinggi harus terus dipegang dan dikobarkan. Jangan dilepaskan, terus dikobarkan semangat memperoleh pendidikan tinggi. Sekalipun belum ada biaya. Minat sekolah yang tinggi tersebut harus ada, dan dibarengi dengan semangat berpikir dan pencarian ide untuk bekerja. Dua aspek yang terpisah ini, dipaksakan untuk selalu beriringan. Mulailah dengan rumusan prinsip hidup yang pasti, ”SAYA HARUS BEKERJA UNTUK SEKOLAH, dan atau SAYA HARUS KULIAH SAMBIL BEKERJA”
Rumusan prinsip hidup di atas, akan terwujud jika disiapkan sejak awal dengan perbekalan ketrampilan, membangun karsa (kemauan) kuat, dan image untuk merubah kehidupannya di atas kakinya sendiri, tanpa mengucap ”orang tua saya miskin”. Sekali lagi jangan menyalahkan orang tua Anda, apalagi sampai menyalahkan Tuhan. Syukurilah bahwa Anda dihidupkan oleh Allah perantara orang tua Anda, dengan kesempurnaan. Konsep berpikir atau falsafat hidup, bahwa kita ini adalah orang-orang yang pandai bersyukur. Ingat, masih banyak segi kehidupan yang dapat kita bangun dan kita tangani untuk kepentingan masa depan yang cerah untuk diri kita sendiri, jika ada KEMAUAN