Pendidikan kecakapan hidup bukanlah sesuatu yang baru dan karenanya
juga bukan topik yang orisinil. Yang benar-benar baru adalah bahwa
kita mulai sadar dan berpikir bahwa relevansi antara pendidikan dengan
kehidupan nyata perlu ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya (Slamet
PH, 2002). Hal ini berarti proses pemelajaran yang selama ini dilakukan
di sekolah sebenarnya juga telah menumbuhkan kecakapan hidup namun
ketercapaiannya masih sebatas sebagai efek pengiring (nurturant efect)
yang secara otomatis terbentuk seiring terkuasainya subtansi mata
pelajaran. Sementara itu berdasar konsep pendidikan berorientasi
kecakapan hidup bahwa aspek-aspek kecakapan hidup harus sengaja
dirancang untuk ditumbuhkan dalam kegiatan belajar. Perancangan dimulai
dari penyusunan program pemelajaran, penyusunan satuan pemelajaran,
kegiatanpemelajaran dan sistem evaluasinya. Hal ini menuntut guru untuk
melakukanreorientasi pemelajaran pada mata pelajaran yang diampunya guna
mengembangkan kecakapan hidup.
Menurut Pardjono (2002) ada beberapa prinsip yang harus dipakai dalam melaksanakan pendidikan kecakapan hidup, yaitu:
1) Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tidak mengubah system pendidikan yang berlaku saat ini.
2) Tidak mereduksi pendidikan menjadi hanya suatu pelatihan.
3) Etika sosio –religius bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dapat diintegrasikan.
4) Pemelajaran memakai prinsip learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, dan learning to cooperate.
5) Pengembangan potensi wilayah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan
6) Menerapkan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat, kolaborasi semua unsur terkait yang ada dalam masyarakat.
7) Paradigma learning for life dan school to work dapat menjadi dasar semua kegiatan pendidikan sehingga lembaga pendidikan secara jelas memiliki pertautan dengan dunia kerja dan pihak lain yang relevan.
8) Penyelenggaraan pendidikan harus senantiasa membantu peserta didik agar:
•Membantu mereka menuju hidup sehat dan berkualitas
•Mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas
•Memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidup secara layak.
Berdasarkan prinsip – prinsip ini, lebih lanjut Pardjono (2002) mengungkapkan 3 strategi penerapan kecakapan hidup di sekolah yaitu :
1) Kecakapan hidup akan diimplementasikan secara integratif dengan kegiatan pemelajaran pada setiap mata pelajaran atau mata diklat.
2) Kecakapan hidup akan diimplementasikan melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti : pramuka, PMR, Pecinta alam, kesenian , olahraga dll.
3) Untuk peserta didik dari TK/RA, SLTP/MTs dilakukan dengan mengintegrasikan paket-paket diklat pravokasional, dan program kecakapan vokasional bagi peserta didik SMU/MA dapat dilaksanakan si BLK , SMK ataupun SMK yang telah dikembangkan menjadi community college. Dan bagi peserta diklat SMK aspek kecakapan hidup dilaksanakan dengan mengintegrasikan kedalam kegiatan pemelajaran pada setiap mata pelajaran atau mata diklat yang ada dalam bentuk paket pemelajaran kecakapan hidup.
Pendapat lain menyatakan implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, Djoko dalam Marwanti, 2004). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pemelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik. Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada, bukan. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik. Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pemelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.
Berdasarkan berbagai prinsip dan pola pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tersebut, model integratif yang paling memungkinkan untuk dilakukan penerapannya. Tim BBE (2002) mengingatkan bahwa dalam mengintegrasikan aspek kecakapan hidup dalam topik diklat tidak boleh dipaksakan. Artinya jika suatu topik pelajaran hanya dapat mengembangkan satu aspek kecakapan hidup maka hanya satu aspek tersebut yang dikembangkan dan tidak perlu dipaksakan mengkaitkan aspek yang lainnya namun jika ada topik pelajaran yang dapat menumbuhkan beberapa aspek kecakapan hidup maka pengembangan aspek kecakapan hidup perlu dioptimalkan pada topik tersebut. Artinya peran guru dalam mengembangkan kecakapan hidup memiliki porsi yang sangat besar dalam menentukan keberhasilannya terutama kreativitas dalam melakukan reorientasi pemelajaran.
Slamet PH (2002) menyatakan pengembangan pendidikan berbasis kecakapan hidup idealnya ditempuh secara berurutan sebagai berikut: Pertama, diidentifikasi masukan dari hasil penelitian, pilihan-pilihan nilai, dan dugaan para ahli tentang nilai-nilai kehidupan nyata yang berlaku. Kedua, masukan tersebut kemudian digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan kompetensi kecakapan hidup. Kompetensi kecakapan hidup yang dimaksud harus menunjukkan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya dalam dunia yang sarat perubahan. Ketiga, kurikulum dikembangkan berdasarkan kompetensi kecakapan hidup yang telah dirumuskan. Artinya, apa yang harus, seharusnya, dan yang mungkin diajarkan kepada peserta didik disusun berdasarkan kompetensi yang telah dikembangkan. Keempat, penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup perlu dilaksanakan dengan jitu agar kurikulum berbasis kecakapan hidup dapat dilaksanakan secara cermat. Hal-hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup seperti misalnya tenaga kependidikan (guru), pendekatan-strategi-metode pemelajaran, media pendidikan, fasilitas, tempat belajar dan durasi belajar, harus siap. Kelima, evaluasi pendidikan kecakapan hidup perlu dibuat berdasarkan kompetensi kecakapan hidup yang telah dirumuskan pada langkah kedua. Karena evaluasi belajar disusun berdasarkan kompetensi, maka penilaian terhadap prestasi belajar peserta didik tidak hanya dengan pencil and paper test, melainkan juga dengan performance test dan bahkan dengan evaluasi otentik. Gambar berikut memaparkan secara ringkas alur berpikir pengembangan pendidikan berbasis kecakapan hidup.
Menurut Pardjono (2002) ada beberapa prinsip yang harus dipakai dalam melaksanakan pendidikan kecakapan hidup, yaitu:
1) Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tidak mengubah system pendidikan yang berlaku saat ini.
2) Tidak mereduksi pendidikan menjadi hanya suatu pelatihan.
3) Etika sosio –religius bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dapat diintegrasikan.
4) Pemelajaran memakai prinsip learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, dan learning to cooperate.
5) Pengembangan potensi wilayah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan
6) Menerapkan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat, kolaborasi semua unsur terkait yang ada dalam masyarakat.
7) Paradigma learning for life dan school to work dapat menjadi dasar semua kegiatan pendidikan sehingga lembaga pendidikan secara jelas memiliki pertautan dengan dunia kerja dan pihak lain yang relevan.
8) Penyelenggaraan pendidikan harus senantiasa membantu peserta didik agar:
•Membantu mereka menuju hidup sehat dan berkualitas
•Mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas
•Memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidup secara layak.
Berdasarkan prinsip – prinsip ini, lebih lanjut Pardjono (2002) mengungkapkan 3 strategi penerapan kecakapan hidup di sekolah yaitu :
1) Kecakapan hidup akan diimplementasikan secara integratif dengan kegiatan pemelajaran pada setiap mata pelajaran atau mata diklat.
2) Kecakapan hidup akan diimplementasikan melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti : pramuka, PMR, Pecinta alam, kesenian , olahraga dll.
3) Untuk peserta didik dari TK/RA, SLTP/MTs dilakukan dengan mengintegrasikan paket-paket diklat pravokasional, dan program kecakapan vokasional bagi peserta didik SMU/MA dapat dilaksanakan si BLK , SMK ataupun SMK yang telah dikembangkan menjadi community college. Dan bagi peserta diklat SMK aspek kecakapan hidup dilaksanakan dengan mengintegrasikan kedalam kegiatan pemelajaran pada setiap mata pelajaran atau mata diklat yang ada dalam bentuk paket pemelajaran kecakapan hidup.
Pendapat lain menyatakan implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, Djoko dalam Marwanti, 2004). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pemelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik. Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada, bukan. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik. Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pemelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.
Berdasarkan berbagai prinsip dan pola pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tersebut, model integratif yang paling memungkinkan untuk dilakukan penerapannya. Tim BBE (2002) mengingatkan bahwa dalam mengintegrasikan aspek kecakapan hidup dalam topik diklat tidak boleh dipaksakan. Artinya jika suatu topik pelajaran hanya dapat mengembangkan satu aspek kecakapan hidup maka hanya satu aspek tersebut yang dikembangkan dan tidak perlu dipaksakan mengkaitkan aspek yang lainnya namun jika ada topik pelajaran yang dapat menumbuhkan beberapa aspek kecakapan hidup maka pengembangan aspek kecakapan hidup perlu dioptimalkan pada topik tersebut. Artinya peran guru dalam mengembangkan kecakapan hidup memiliki porsi yang sangat besar dalam menentukan keberhasilannya terutama kreativitas dalam melakukan reorientasi pemelajaran.
Slamet PH (2002) menyatakan pengembangan pendidikan berbasis kecakapan hidup idealnya ditempuh secara berurutan sebagai berikut: Pertama, diidentifikasi masukan dari hasil penelitian, pilihan-pilihan nilai, dan dugaan para ahli tentang nilai-nilai kehidupan nyata yang berlaku. Kedua, masukan tersebut kemudian digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan kompetensi kecakapan hidup. Kompetensi kecakapan hidup yang dimaksud harus menunjukkan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya dalam dunia yang sarat perubahan. Ketiga, kurikulum dikembangkan berdasarkan kompetensi kecakapan hidup yang telah dirumuskan. Artinya, apa yang harus, seharusnya, dan yang mungkin diajarkan kepada peserta didik disusun berdasarkan kompetensi yang telah dikembangkan. Keempat, penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup perlu dilaksanakan dengan jitu agar kurikulum berbasis kecakapan hidup dapat dilaksanakan secara cermat. Hal-hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup seperti misalnya tenaga kependidikan (guru), pendekatan-strategi-metode pemelajaran, media pendidikan, fasilitas, tempat belajar dan durasi belajar, harus siap. Kelima, evaluasi pendidikan kecakapan hidup perlu dibuat berdasarkan kompetensi kecakapan hidup yang telah dirumuskan pada langkah kedua. Karena evaluasi belajar disusun berdasarkan kompetensi, maka penilaian terhadap prestasi belajar peserta didik tidak hanya dengan pencil and paper test, melainkan juga dengan performance test dan bahkan dengan evaluasi otentik. Gambar berikut memaparkan secara ringkas alur berpikir pengembangan pendidikan berbasis kecakapan hidup.