Comments

Promosi dan Marketing Lembaga Pendidikan

 Promosi dan Marketing Lembaga Pendidikan


Pendidikan bukan hanya ladang ilmu dan amal, melainkan juga ladang memupuk modal (bisnis). Maka lembaga pendidikan pun juga harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. Faktor kunci apa saja yang bisa membuat lembaga pendidikan memenangkan persaingan?

Sekerumun remaja putra-putri berseragam abu-abu putih mengerubungi papan pengumuman kelulusan. Sejurus kemudian, reaksi mereka berbeda. Ada yang terlonjak kegirangan, sebagian saling berpelukan, tapi banyak juga yang berteriak histeris disusul dengan tangis sedu sedan.

agi yang lulus, eforia kemenangan hanya berlangsung sejurus. Karena, setelah itu mereka harus memikirkan langkah mereka ke depan. Apakah langsung terjun ke dunia kerja (dengan modal ilmu dan pengalaman yang pas-pasan)? Melanjutkan pendidikan ke universitas? Melanjutkan ke lembaga pendidikan tinggi atau kursus (non-universitas)?

 Tentu ini bukan pilihan yang mudah. Penentuan pilihan mengenai jenis pendidikan tinggi atau kursus yang akan dijalani merupakan titik krusial. Karena hal ini juga akan menentukan masa depan mereka. Dulu universitas diyakini sebagai jembatan yang harus dilewati siapa pun untuk bisa meraih masa depan gemilang. Kini keyakinan tersebut tidak bersifat mutlak. Statistik menunjukkan banyak sarjana lulusan universitas yang menjadi pengangguran intelektual.


Belakangan banyak lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang mulai melirik lembaga pendidikan tinggi (non-universitas) dan lembaga kursus karena dinilai lebih bisa menyiapkan anak didiknya bersaing di dunia kerja.


Meningkatnya minat lulusan SLTA terhadap lembaga pendidikan dan kursus ditanggapi sebagai peluang bisnis bagi para pengusaha di bidang pendidikan.

anyaknya bermunculan lembaga pendidikan dan kursus yang membidik lulusan SMU ini tentu saja juga memunculkan aroma persaingan bisnis yang dari waktu ke waktu semakin ketat.

Bagaimana membidik target secara tepat itulah yang harus dipahami oleh lembaga-lembaga pendidikan dan kursus. Inilah yang kami sajikan dalam tulisan wacanatama edisi ini. Tulisan ini kami kembangkan berbasis hasil riset Inspira Research & Consulting yang dilakukan di kalangan anak-anak SMU di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) yang tertarik melanjutkan ke lembaga pendidikan atau kursus, tanggal 23 Juni -29 Juni 2008.
 Kabar yang menggembirakan dari hasil riset itu bagi para pemain bisnis lembaga pendidikan dan kursus adalah: Secara keseluruhan, responden serius dalam mencari/memilih lembaga pendidikan non perguruan tinggi.

Ini terbukti dengan besarnya proporsi dari 485 responden yang berusaha mencari informasi lembaga pendidikan, setelah lulus SMU. Ketika diajukan pertanyaan: “Apakah Anda sudah melakukan upaya mencari informasi lembaga pendidikan yang akan Anda ikuti selepas lulus SLTA?” Sebanyak 73,4% responden mengaku sudah melakukannya. Sedangkan 20,2 % mengaku belum mencari informasi, sisanya 6,4% tidak memberikan jawaban. Secara statistik temuan ini sangat menggembirakan karena responden yang memberikan jawaban telah melakukan upaya mencari informasi tentang lembaga pendidikan hampir tiga kali lipat lebih dibandingkan responden yang belum mencar informasi pendidikan tinggi.

Dalam perspektif yang lebih optimistis sebanyak 20,2% dari responden yang belum mencari informasi tentang lembaga pendidikan tidak berarti tidak tertarik ke lembaga pendidikan. Demikian juga bagi responden yang tidak menjawab. Mereka potensial menjadi mahasiswa lembaga pendidikan, tergantung dari pendekatan yang dilakukan oleh para pemain lembaga pendidikan.

Hasil riset Inspira ini bisa dijadikan bahan pertimbangan metode pendekatan apakah yang paling efektif untuk merekrut calon mahasiswa lembaga pendidikan dan kursus. Dari pertanyaan, “Program-program seperti apa yang sebaiknya dilakukan lembaga pendidikan supaya Anda tertarik untuk mendaftar di lembaga pendidikan tersebut?” diperoleh jawaban sebagai berikut; roadshow ke sekolah (32,8%), memasang spanduk/stiker (20,4%), menyebarkan pamflet/brosur sebanyak mungkin (15,9%), seminar gratis (12,6%), program beasiswa (9,1%), bayar setelah kerja (8,6%), lainnya (1,2)
 Prakarsa roadshow bisa berasal dari lembaga pendidikan, bisa berasal dari sekolah yang bersangkutan, bisa berasal dari dua-duanya. Tetapi pada umumnya, pihak lembaga pendidikanlah yang lebih proaktif. Hemat saya, roadshow lebih efektif (terbukti menjadi pilihan terbanyak responden) dibandingkan dari jenis promosi lain lantaran dalam roadshow semua hal-hal yang menyangkut lembaga pendidikan yang ingin diketahui calon mahasiswa bisa dijawab dengan tuntas. Sifat komunikasi dua arah dari jenis promosi ini memungkin terjadinya tanya jawab yang meluas, berbeda dengan jenis promosi lainnya.
Namun dalam roadshow pun memiliki banyak kelemahan dibandingkan dengan jenis promosi lain. Misalnya saja, pihak lembaga pendidikan harus menyiapkan “duta-duta” yang mumpuni untuk menjelaskan tentang semua hal mengenai lembaga pendidikan yang diwakili. “Duta” yang efektif adalah alumni dari sekolah yang bersangkutan, yang telah menjadi mahasiswa dan merasa mendapatkan manfaat besar mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan tersebut.

Pun roadshow memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, lembaga pendidikan harus menyiapkan sebanyak mungkin “duta” dan harus membuat penjadwalan sebanyak mungkin dengan sekolah-sekolah yang menjadi targetnya. Tentu hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Tetapi sepadan dengan hasil yang dicapai.

Memasang spanduk atau stiker, merupakan jenis program yang paling banyak dipilih kedua calon mahasiswa lembaga pendidikan. Spanduk atau stiker memang hanya pesan satu arah. Mungkin tidak seefektif roadshow dalam merekrut calon mahasiswa lembaga pendidikan, tetapi efektif untuk menginformasikan keberadaan sebuah lembaga pendidikan. Suatu spanduk yang didesain menyolok dan dipasang di tempat strategis mampu menginformasikan kepada ribuan calon mahasiswa per hari. Jenis promosi ini juga sangat efektif untuk calon mahasiswa yang sudah sedari awal ingin melanjutkan ke lembaga pendidikan. Karena untuk detilnya, calon yang bersangkutan bisa menelepon ke pihak lembaga pendidikan yang nomor kontaknya tertulis di spanduk tersebut.

elemahannya, spanduk yang didesain biasa-biasa saja tidak akan bisa mencuri perhatian calon mahasiswa. Karena biasanya, di suatu tempat strategis akan dipenuhi oleh berbagai spanduk mulai dari produk popok bayi sampai spanduk pilkada. Jika, bisa mencuri perhatian pun spanduk tidak mempunyai kekuatan mengajak calon mahasiswa yang sebelumnya tidak memiliki minat melanjutkan ke lembaga pendidikan sebagaimana dalam jenis promosi roadshow.

Penyebaran pamflet atau brosur menjadi pilihan ketiga terbanyak oleh para responden. Sebenarnya, promosi jenis ini juga efektif, karena selain biayanya relatif murah, juga bisa disebarkan ke sekolah-sekolah yang anak didiknya potensial mendaftar ke lembaga pendidikan tinggi. Namun jika salah membidik, brosur atau pamflet hanya akan diberlakukan sebagai bungkus kacang. Dan justru yang sering terjadi adalah kasus terakhir ini. Pamflet atau brosur seringkali dibagikan secara acak di mana pun sehingga efektifitasnya menjadi kecil sekali.

Seminar gratis menjadi pilihan terbanyak ke empat dari para responden. Menurut hemat saya, seminar justru tidak efektif, kecuali seminar yang dikelola secara profesional yang harus didukung oleh banyak pihak lain, selain lembaga pendidikan yang bersangkutan. Untuk mengadakan seminar gratis skala besar dibutuhkan biaya yang besar juga. Namun hal ini bisa diatasi dengan cara berkolaborasi dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kursus lain dengan didukung dari sponsor.

Pemberian beasiswa menjadi pilihan kelima dari para responden. Sebenarnya ini bisa dimaklumi karena penelitian dilakukan di kalangan siswa SMU di Jabodetabek yang secara ekonomi relatif bagus dibandingkan SMU-SMU daerah. Promosi dengan memberikan beasiswa ini mungkin akan menjadi pilihan teratas jika riset dilakukan di daerah-daerah yang secara ekonomi tidak terlalu mapan. Maka jenis promosi ini juga akan efektif di daerah-daerah tersebut.

Sedangkan jenis promosi membayar setelah bekerja justru menjadi pilihan ke enam. Ini mungkin disebabkan karena lembaga pendidikan sendiri harus ditempuh dengan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga baik bagi pihak lembaga pendidikan maupun mahasiswa sendiri akan sangat menyulitkan.

Rentang waktu pendidikan yang panjang membuat akumulasi dana sangat besar, baik bagi lembaga pendidikan maupun mahasiswa. Ini akan sangat mempengaruhi kondisi keuangan lembaga pendidikan. Sementara mahasiswa, setelah bekerja, akan mengembalikan jumlah dana yang cukup besar juga. Namun jenis promosi ini akan efektif untuk lembaga kursus yang rentang waktu pendidikannya berkisar antara tiga bulan sampai maksimal satu tahun.

Di samping harus memilih jenis promosi yang tepat, lembaga pendidikan dan kursus juga harus memahami faktor-faktor apakah yang membuat calon mahasiswa tertarik mendaftar ke lembaga pendidikan dan kursus. Dari hasil penelitian terdapat dua kelompok yang memiliki pertimbangan masing-masing dalam memilih lembaga pendidikan dan kursus.

Kelompok pertama, melihat melihat faktor biaya, kemudahan mendapatkan pekerjaan, dan sarana prasarana sebagai pertimbangan utama dalam memilih seuatu lembaga pendidikan. Sedangkan kelompok kedua, lebih fokus pada aspek materi dan kurikulum sebagai pertimbangan utama mereka.

Dalam persepsi terhadap lembaga pendidikan dan kursus suara responden juga terbelah menjadi dua. Di satu kelompok ada beberapa kategori responden yang memandang aspek kurikulum, tenaga pengajar, sarana prasarana, dan kemampuan lembaga dalam menyalurkan lulusannya relatif baik. Namun, di sisi lain, sebagian kategori responden lainnya menilai aspek-aspek tersebut belum mampu menyentuh keinginan pasar.

Meski dalam persoalan pertimbahan memilih dan persepsi terhadap lembaga pendidikan suara responden terbelah namun yang menggembirakan adalah ada pandangan umum bahwa lembaga-lembaga pendidikan sudah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan aspek mutu pendidikan melalui peningkatan sarana dan prasarana. Walaupun untuk itu, sebagian besar responden memandang biaya yang cenderung meningkat pula.

Dari riset itu juga terungkap bahwa pilihan responden terhadap suatu lembaga pendidikan lebih fokus pada faktor anggapan umum di publik bahwa lembaga tersebut sudah cukup lama eksis. Bukan disebabkan pada popularitas lembaga, karena popularitas merupakan faktor ikutan dari eksistensi lembaga.

Faktor sarana-prasarana, kualitas dan mutu pengajar atau kurikulum tidak menjamin akan banyak calon siswa yang mau mendaftar kalau tidak ada informasi positif lembaga itu.

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan, lembaga pendidikan sebaiknya harus menyiapkan tenaga marketing yang handal, dan mulai menginformasikan dan mengkomunikasikan kelebihan-kelebihan lembaga sebagai produk unggulan.

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan, lembaga pendidikan sebaiknya harus menyiapkan tenaga marketing yang handal, dan mulai menginformasikan dan mengkomunikasikan kelebihan-kelebihan lembaga sebagai produk unggulan.

 Mengadopsi teorinya Eric Schulz, yang berpengalaman sebagai eksekutif pemasaran di perusahaan besar Coca-Cola, P&G serta Disney, keberhasilan dari lembaga pendidikan merekrut calon siswa atau mahasiswa adalah dari ketepatan positioning-nya.

Positioning, kata Eric, mungkin semudah mengucapkan alphabet ABC. Tentu saja dalam prakteknya tidak demikian meski tetap berpatokan kepada ABC. A artinya adalah lembaga pendidikan harus memperhatikan audience-nya atau target pasarnya. Siapakah yang menjadi target lembaga pendidikan atau kursus Anda? Lulusan SMU, anak-anak yang ingin lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) atau anak-anak yang ingin rapornya bagus?

Kesalahan umum yang dilakukan dalam bisnis, juga dalam bisnis lembaga pendidikan adalah: keinginan untuk membidik semua orang. Ketika Anda ingin membidik semua orang, hasilnya justru tidak ada satu pun orang yang melirik Anda. Ketika Anda membidik secara tepat meski hanya sekelompok orang, besar kemungkinan sekolompok orang itu akan mendatangi lembaga pendidikan Anda.

B, dalam rumusan Eric, adalah benefit. Suatu lembaga pendidikan atau kursus haruslah memberikan benefit kepada mahasiswa atau siswanya. Misalnya lembaga pendidikan komputer haruslah memberi benefit kepada mahasiswanya. Secara umum benefitnya adalah menjadikan mahasiswa tersebut “katam” bidang komputer.

C, berarti, compelling reason why. Artinya ada alasan lebih lanjut mengapa konsumen harus membeli ini bukan itu. Sebenarnya ini merupakan penegas sekaligus penjabaran dari benefit.

Dengan memakai rumusan ABC ini, kita bisa membuat positioning lembaga pendidikan XYZ, yang membidik para karyawan yang ingin memperoleh gelar untuk meningkatkan karirnya di tempat pekerjaan. Positioning-nya bisa berbunyi,” Untuk para karyawan yang ingin meraih gelar dan peningkatan karir kami memiliki program pendidikan sarjana yang dipadatkan sehingga Anda bisa meraihnya dalam waktu singkat tanpa harus mengorbankan tugas Anda di kantor karena waktu kuliah kami sangat fleksibel.

A-nya adalah para karyawan. B-nya, mendapatkan gelar secepatnya tanpa mengorbankan tugas kantor. C-nya, kurikulum dipadatkan dan jadwal kuliah fleksibel.

Positioning yang tepat akan menempatkan lembaga pendidikan atau kursus Anda sebagai salah satu pemain terkuat di pasar tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan menjadikan Anda satu-satunya pemain di target pasar tersebut.

Hartomo Mechanical Training Center (HMTC) sangat memahami positioning ini. Membidik orang-orang yang tertarik menjadi mekanik sepeda motor Hartomo Koes Alam Syahrir mendirikan HMTC pada tahun 1999. Cerdasnya lagi HMTC masih menyediakan paket-paket yang pada dasarnya adalah pembagian segmen. Mungkin semua calon mekanik berkeinginan untuk menguasai persoalan semua jenis kendaraan bermotor, tetapi dari sisi dana mereka tidak punya. Pilihan paket 8 motor bisa menjadi pilihan berikutnya.

Positioning dari HMTC dipertegas lagi dengan menerapkan sistem satu siswa, satu motor dan satu guru. Dengan sistem ini tentu saja proses pelatihannya akan jauh lebih efektif. Dan ditambah lagi dengan kebijakan, siswa akan dididik dan dilatih sampai bisa, bukan didasarkan batasan waktu.

Positioning HMTC (sebagai contoh bukan pernyataan resmi HMTC),” Bagi orang-orang yang ingin menjadi mekanik handal semua jenis sepeda motor kami memiliki program pendidikan dan pelatihan yang pertama kali menganut satu siswa satu motor dan satu guru serta didukung sarana praktek terbanyak di Indonesia.”

Barangkali ada lembaga pendidikan dan pelatihan mekanik motor sebesar HMTC, memakai sistem satu siswa satu motor dan satu guru tetapi tidak untuk semua jenis motor, melainkan sepeda motor merek tertentu. Mungkin ada juga lembaga pendidikan dan pelatihan mekanik untuk semua jenis sepeda motor, tetapi tidak menerapkan sistem satu siswa satu motor dan satu guru serta tidak memiliki jaringan dan sarana praktek sebesar HMTC.

Contoh-contoh di atas bisa dijadikan bahan rujukan bagi Anda untuk menetapkan target secara tepat. Namun penetapan target yang tepat pun belum menjamin keberhasilan dari bisnis lembaga pendidikan, karena Anda harus bisa mengkomunikasikan dengan tepat. Kalau kedua hal ini sudah Anda lakukan tidak mustahil akan menjadikan lembaga pendidikan atau kursus Anda sebagai ladang ilmu, ladang amal sekaligus sebagai lumbung menumpuk modal.

 http://www.majalahpengusaha.com/content/view/809/48/



◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

DIREKTORI

ORMIT & MITRA

AD (728x90)

Copyright © LKP AL-QOLAM MUSI RAWAS - All Rights Reserved