Comments

Life Skills Pendidikan Kecakapan Hidup PLS

By LKP AL-QOLAM MUSI RAWAS | At 21:36 | Label : | 0 Comments

Istilah Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (1989) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”. Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002).
Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsep pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga belajar agar memiliki keberanian dan kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya.
Indikator-indikator yang terkandung dalam life skills tersebut secara konseptual dikelompokkan : (1) Kecakapan mengenal diri (self awarness) atau sering juga disebut kemampuan personal (personal skills), (2) Kecakapan berfikir rasional (thinking skills) atau kecakapan akademik (akademik skills), (3) Kecakapan sosial (social skills), (4) Kecakapan vokasional (vocational skills) sering juga disebut dengan keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat spesifik (spesifik skills) atau keterampilan teknis (technical skills).
Menurut Jecques Delor mengatakan bahwa pada dasarnya program life skills ini berpegang pada empat pilar pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan).
2. Learning to do (belajar untuk dapat berbuat/bekerja).
3. Learning to be (belajar untuk menjadi orang yang berguna).
4. Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain).

Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup

By LKP AL-QOLAM MUSI RAWAS | At 21:35 | Label : | 0 Comments

Pendidikan kecakapan hidup bukanlah sesuatu yang baru dan karenanya juga bukan topik yang orisinil. Yang benar-benar baru adalah bahwa kita mulai sadar dan berpikir bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata perlu ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya (Slamet PH, 2002). Hal ini berarti proses pemelajaran yang selama ini dilakukan di sekolah sebenarnya juga telah menumbuhkan kecakapan hidup namun ketercapaiannya masih sebatas sebagai efek pengiring (nurturant efect) yang secara otomatis terbentuk seiring terkuasainya subtansi mata pelajaran. Sementara itu berdasar konsep pendidikan berorientasi kecakapan hidup bahwa aspek-aspek kecakapan hidup harus sengaja dirancang untuk ditumbuhkan dalam kegiatan belajar. Perancangan dimulai dari penyusunan program pemelajaran, penyusunan satuan pemelajaran, kegiatanpemelajaran dan sistem evaluasinya. Hal ini menuntut guru untuk melakukanreorientasi pemelajaran pada mata pelajaran yang diampunya guna mengembangkan kecakapan hidup.
Menurut Pardjono (2002) ada beberapa prinsip yang harus dipakai dalam melaksanakan pendidikan kecakapan hidup, yaitu:
1) Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tidak mengubah system pendidikan yang berlaku saat ini.
2) Tidak mereduksi pendidikan menjadi hanya suatu pelatihan.
3) Etika sosio –religius bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dapat diintegrasikan.
4) Pemelajaran memakai prinsip learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, dan learning to cooperate.
5) Pengembangan potensi wilayah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan
6) Menerapkan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat, kolaborasi semua unsur terkait yang ada dalam masyarakat.
7) Paradigma learning for life dan school to work dapat menjadi dasar semua kegiatan pendidikan sehingga lembaga pendidikan secara jelas memiliki pertautan dengan dunia kerja dan pihak lain yang relevan.
8) Penyelenggaraan pendidikan harus senantiasa membantu peserta didik agar:
•Membantu mereka menuju hidup sehat dan berkualitas
•Mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas
•Memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidup secara layak.
Berdasarkan prinsip – prinsip ini, lebih lanjut Pardjono (2002) mengungkapkan 3 strategi penerapan kecakapan hidup di sekolah yaitu :
1) Kecakapan hidup akan diimplementasikan secara integratif dengan kegiatan pemelajaran pada setiap mata pelajaran atau mata diklat.
2) Kecakapan hidup akan diimplementasikan melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti : pramuka, PMR, Pecinta alam, kesenian , olahraga dll.
3) Untuk peserta didik dari TK/RA, SLTP/MTs dilakukan dengan mengintegrasikan paket-paket diklat pravokasional, dan program kecakapan vokasional bagi peserta didik SMU/MA dapat dilaksanakan si BLK , SMK ataupun SMK yang telah dikembangkan menjadi community college. Dan bagi peserta diklat SMK aspek kecakapan hidup dilaksanakan dengan mengintegrasikan kedalam kegiatan pemelajaran pada setiap mata pelajaran atau mata diklat yang ada dalam bentuk paket pemelajaran kecakapan hidup.
Pendapat lain menyatakan implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, Djoko dalam Marwanti, 2004). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pemelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik. Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada, bukan. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik. Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pemelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.
Berdasarkan berbagai prinsip dan pola pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tersebut, model integratif yang paling memungkinkan untuk dilakukan penerapannya. Tim BBE (2002) mengingatkan bahwa dalam mengintegrasikan aspek kecakapan hidup dalam topik diklat tidak boleh dipaksakan. Artinya jika suatu topik pelajaran hanya dapat mengembangkan satu aspek kecakapan hidup maka hanya satu aspek tersebut yang dikembangkan dan tidak perlu dipaksakan mengkaitkan aspek yang lainnya namun jika ada topik pelajaran yang dapat menumbuhkan beberapa aspek kecakapan hidup maka pengembangan aspek kecakapan hidup perlu dioptimalkan pada topik tersebut. Artinya peran guru dalam mengembangkan kecakapan hidup memiliki porsi yang sangat besar dalam menentukan keberhasilannya terutama kreativitas dalam melakukan reorientasi pemelajaran.
Slamet PH (2002) menyatakan pengembangan pendidikan berbasis kecakapan hidup idealnya ditempuh secara berurutan sebagai berikut: Pertama, diidentifikasi masukan dari hasil penelitian, pilihan-pilihan nilai, dan dugaan para ahli tentang nilai-nilai kehidupan nyata yang berlaku. Kedua, masukan tersebut kemudian digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan kompetensi kecakapan hidup. Kompetensi kecakapan hidup yang dimaksud harus menunjukkan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya dalam dunia yang sarat perubahan. Ketiga, kurikulum dikembangkan berdasarkan kompetensi kecakapan hidup yang telah dirumuskan. Artinya, apa yang harus, seharusnya, dan yang mungkin diajarkan kepada peserta didik disusun berdasarkan kompetensi yang telah dikembangkan. Keempat, penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup perlu dilaksanakan dengan jitu agar kurikulum berbasis kecakapan hidup dapat dilaksanakan secara cermat. Hal-hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup seperti misalnya tenaga kependidikan (guru), pendekatan-strategi-metode pemelajaran, media pendidikan, fasilitas, tempat belajar dan durasi belajar, harus siap. Kelima, evaluasi pendidikan kecakapan hidup perlu dibuat berdasarkan kompetensi kecakapan hidup yang telah dirumuskan pada langkah kedua. Karena evaluasi belajar disusun berdasarkan kompetensi, maka penilaian terhadap prestasi belajar peserta didik tidak hanya dengan pencil and paper test, melainkan juga dengan performance test dan bahkan dengan evaluasi otentik. Gambar berikut memaparkan secara ringkas alur berpikir pengembangan pendidikan berbasis kecakapan hidup.

Tujuan Pendidikan Kecakapan Hidup

By LKP AL-QOLAM MUSI RAWAS | At 21:34 | Label : | 0 Comments

Secara umum pendidikan yang berorietasi pada kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa datang (Tim BBE, 2002:8). Hal ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Slamet PH (2002) bahwa tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang. Esensi dari pendidikan kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik preservatif maupun progresif. Lebih spesifiknya, menurut Slamet PH (2002) tujuan pendidikan kecakapan hidup dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan (logos), penghayatan (etos), dan pengamalan (patos) nilai-nilai kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Kedua, memberikan wawasan yang luas tentang pengembangan karir, yang dimulai dari pengenalan diri, eksplorasi karir, orientasi karir, dan penyiapan karir. Ketiga, memberikan bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang dapat memampukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa depan yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. Keempat, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi stakeholders, dan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah. Kelima, memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari, misalnya kesehatan mental dan pisik, kemiskinan, kriminal, pengangguran, lingkungan sosial dan pisik, narkoba, kekerasan, dan kemajuan ipteks. Pendapat lain dikemukakan oleh Mulyani Sumantri, (2004) bahwa tujuan khusus pemelajaran life skills adalah:
1) Menyajikan kecakapan berkomunikasi dengan menggunakan berbagai teknik yang memadai bagi siswa.
2) Mengembangkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan masyarakat masa kini dan memenuhi kebutuhan di masa datang.
3) Mengembangkan kemampuan membantu diri dan kecakapan hidup agar setiap siswa dapat mandiri.
4) Memperluas pengetahuan dan kesadaran siswa mengenai sumber-sumber dalam masyarakat.
5) Mengembangkan kecakapan akademik yang akan mendukung kemandirian setiap siswa.
6) Mengembangkan kecakapan pra-vokasional dan vokasional dengan memfasilitasi latihan kerja dan pengalaman bekerja di masyarakat.
7) Mengembangkan kecakapan untuk memanfaatkan waktu senggang dan melakukan rekreasi.
8) Mengembangkan kecakapan memecahkan masalah untuk membantu siswa melakukan pengambilan keputusan masa kini dan di masa depan.
Untuk mencapai tujuan pendidikan kecakapan hidup ini tidak akan lepas dari peran guru sebagai pelaksana kurikulum, fasilitator dan motivator bagi siswa melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah sehingga siswa memiliki bekal kompetensi untuk bekerja dan bermasyarakat dalam mengarungi kehidupan. Kurikulum sebagai petunjuk jalan untuk mencapai tujuan pemelajaran dan mata diklat sebagai kendaraan yang membawa peserta didik mencapai kompetensi tertentu dimana guru berperan sebagai sopir untuk mengantarkan peserta didik sampai ke tujuan pemelajaran sesuai standar kompetensi yang ditetapkan.

Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup

By LKP AL-QOLAM MUSI RAWAS | At 21:27 | Label : | 0 Comments

Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup

Tantangan pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dari waktu kewaktu meliputi empat hal, yaitu peningkatan: (1) pemerataan kesempatan, (2) kualitas, (3) efisiensi, dan (4) relevansi. Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) pada semua jenis dan jenjang pendidikan pada dasarnya didorong oleh anggapan bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata kurang erat.
Kesenjangan antara keduanya dianggap lebar, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Pendidikan makin terisolasi dari kehidupan nyata sehinggu, tamatan pendidikan dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan dianggap kurang siap menghadapi kehidupan nyata. Suatu pendidikan dikatakan relevan dengan kehidupan nyata jika pendidikan tersebut sesuai dengan kehidupan nyata. Namun, pertanyaannya adalah kehidupan nyata yang mana? Sementara itu, kehidupan nyata sangat luas dimensi dan ragamnya, misalnya ada kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat, dan kehidupan bangsa. Kalau mengacu pada Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1998 dan Undang-Undang No.2, Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), kehidupan nyata itu menyangkut kehidupan peserta didik, kehidupan keluarga, dan kehidupan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan subsector (pertanian, industri, jasa, dsb.).
Kehidupan-kehidupanin i (disebut juga kepentingan) tidak selamanya sejalan satu sama lain, sehingga terjadi apa yang dikenal dengan perbedaan kepentingan antara berbagai kehidupan nyata terhadap pendidikan. Idealnya, pendidikan harus relevan dengan berbagai kehidupan nyata itu. Namun, pada akhirnya perlu diambil keputusan mengenai manakah diantara kehidupan yang akan menjadi prioritas pada suatu kurun waktu tertentu. Dalam kerangka empat strategi dasar kebijakan pendidikan, pendidikan kecakapan hidup menyangkut salah satu strategi, yaitu meningkatkan relevansi pendidikan dengan kehidupan nyata.
Pendidikan sekolah (PS) dan pendidikan luar sekolah (PLS) diselenggarakan untuk meningkatkan kualitas daya pikir, daya kalbu dan daya fisik peserta didik sehingga yang bersangkutan memiliki lebih banyak pilihan dalam kehidupan, baik pilihan kesempatan untuk melanjutkan pndidikan yang lebih tinggi, pilihan kesempatan untuk bekerja maupun pilihan untuk mengembangkan dirinya. Untuk menecapai tujuan tersebut, PS dan PLS perlu memberikan bekal dasar kemampuan kesanggupan dan ketrampilan kepada peserta didik agar mereka siap menghadapi berbagai kehidupan nyata. Telah banyak upaya yang dilakukan dalam memberikan bekal dasar kecakapan hidup, baik melalui pendidikan di keluarga, di sekolah, maupun di masyarakat.
Upaya-upaya tersebut bukan tidak berhasil sama sekali dalam meningkatkan kemampuan, kesanggupan dan keterampilan hidup tamatannya, akan tetapi kehidupan nyata yang memiliki ciri “berubah” telah menuntut PS dan PLS untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian PS dan PLS dituntut menghasilkan tamatanya yang mampu, sanggup, dan terampil untuk menghadapi tantangan hidup yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. Mampu dalam arti tamatan PS dan PLS memiliki kualifikasi yang dibutuhkan bagi kehidupan masa depan. Sanggup dalam arti tamatan PS dan PLS mau, komit, bertanggung jawab dan berdedikasi menjalankan kehidupannya. Terampil dalam arti cepat, cekat, dan tepat dalam mencapai sasaran hidup yang diinginkannya.
Mengingat peserta didik PS dan PLS berada dalam kehidupan nyata, maka salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mendekatkan pendidikan (kegiatan belajar mengajar) dengan kehidupan nyata yang memiliki nilai-nilai preservative dan progresif sekaligus melalui pengintensifan dan pengefektifan pendidikan kecakapan hidup. Istilah pengintensifan dan pengefekktifan perlu digaris bawahi agar tidak salah persepsi bahwa selama ini tidak diajarkan kecakapan hidup sama sekali dan yang diajarkan adalah kecakapan untuk mati. Kecakapan hidup sudah diajarkan, akan tetapi perlu peningkatan intensitas dan efektivitasnya, sehingga PS dan PLS dapat menghasilkan tamatan yang mampu, sanggup, dan terampil terjun dalam kehidupan nyata nantinya. UUSPN telah mengamantkan pendidikan kecakapan hidup, yang bunyinya: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarkatan dan kebangsaan“. Jadi, pendidikan kecakapan hidup bukanlah sesuatu yang baru dan karenanya juga bukan topik yang orisinil. Yang benar-benar baru adalah bahwa kita mulai sadar dan berpikir bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata perlu ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya.
◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

DIREKTORI

ORMIT & MITRA

AD (728x90)

Copyright © LKP AL-QOLAM MUSI RAWAS - All Rights Reserved